The Best Fluffy Pancakes recipe you will fall in love with. Full of tips and tricks to help you make the best pancakes.

Tampopo adalah film komedi Jepang tahun 1985 yang bertema kuliner. Mengisahkan seorang janda bernama Tampopo (artinya bunga dandelion) yang berusaha meningkatkan kemampuannya memasak ramen.
Sinopsisnya
Film tentang masak ini dimulai ketika sopir truk bernama Goro dan Gun makan di warung ramen Lai Lai milik Tampopo. Goro terlibat perkelahian dengan Pisken yang sedang memaksa Tampopo menjual warungnya. Karena dikeroyok Goro kalah dan dirawat oleh Tampopo.
Goro dan Gun kemudian dijamu sarapan oleh Tampopo, mereka berkata masakan Tampopo enak. Ketika Tampopo menanyakan pendapat mereka tentang ramennya, mereka menjawab ramen buatan Tampopo masih payah.
Goro memberi beberapa saran untuk meningkatkan kualitas ramennya. Tampopo pun meminta Goro menjadi gurunya mengajari cara membuat ramen yang lebih baik.
Goro mulai melatih Tampopo tidak saja dalam hal membuat ramen, tapi juga hal-hal yang berkaitan dengannya. Fisiknya dilatih karena memasak dan berjualan ramen membutuhkan stamina. Juga kecepatan memasak, cara menyambut dan mempelajari pelanggan yang datang.
Goro mengajak Tampopo mengunjungi warung-warung ramen dan menunjukkan pada Tampopo apa kelemahan dan kelebihan masing-masing warung. Kemampuan dan pengetahuan Tampopo tentang ramen meningkat tapi dia masih belum bisa membuat kuah ramen yang benar-benar lezat. Maka mereka minta bantuan seorang kakek tunawisma teman Goro yang ahli kuliner.
Saat sedang makan di sebuah restoran ada seorang kakek kaya tersedak makanan dan Tampopo menyelamatkannya. Berterima kasih, kakek itu menyuruh sopirnya yang juga pandai memasak ramen untuk membantu Tampopo. Berdua dengan Tampopo, si sopir dengan beberapa trik mengorek rahasia kuah ramen dari warung dan restoran lain.
Kemudia Gun dan teman-temannya melakukan makeover pada penampilan Tampopo. Seiring nama warung diganti dari Lai Lai menjadi Tampopo.
Pisken, yang sebenarnya kontraktor menawarkan bantuan untuk merenovasi interior warung Tampopo. Dia juga memberi tahu Tampopo resep ramen rahasianya.
Untuk ke sekian kalinya Tampopo menyajikan ramen pada Goro, Gun, Pisken, si sopir, dan kakek tunawisma. Mereka menghabiskan ramennya, meminum kuahnya sampai habis. Tampopo tahu dia telah berhasil dan warungnya pun kemudian ramai pembeli.
Selain kisah Tampopo film ini juga diisi dengan beberapa scene random terkait kuliner atau makanan. Misalnya beberapa petinggi perusahaan diikuti seorang karyawan biasa makan di restoran Prancis tapi tidak tahu harus pesan apa. Karyawannya justru yang bisa memesan dengan baik dan dia familiar dengan makanan Prancis.
Belajar Untuk Jadi Lebih Baik
Pesan yang saya tangkap dari film ini adalah Tampopo dengan sungguh-sungguh belajar dan berlatih untuk meningkatkan skill ramennya. Ketekunannya belajar membuka pintu-pintu ilmu lain, hingga akhirnya ia berhasil.
Itu adalah hal yang saya yakini sejak dulu. Jika saya sungguh-sungguh menekuni sesuatu meski pada awalnya terasa sulit dan banyak kendala. Ke depannya di saat yang tepat insya Allah jalan-jalan ilmu akan terbuka.
Selama ini juga saya alami sendiri saat menekuni SEO, blogging, penulisan non fiksi, dan lain-lainnya. Kalau tekun lama-lama akan terbuka sendiri berbagai kesempatan dan pengetahuan.
Selanjutnya adalah kemauan Tampopo untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan makanannya. Dia berusaha mendapatkan feedback apakah makannya enak atau tidak. Berdasarkan feedback itu dia meningkatkan kualitas makanannya.
Hal itu mengingatkan saya pada pengalaman pribadi. Sering saya temui pedagang makanan yang sebenarnya rasa makanannya tidak enak, namun setelah beberapa lama bahkan beberapa tahun berjualan juga tidak ada peningkatan kualitas. Menurut saya bukankah mereka seharusnya menekuni pekerjaan mereka, bukan sekedar berjualan lalu dibiarkan tanpa peningkatan?
Ada penjual gorengan yang gorengannya keras bahkan yang baru matang sekalipun. Ada penjual nasi uduk yang rasa nasi dan lauknya kurang enak. Ada juga warung nasi yang masakannya hampir hambar. Mereka semua bertahun-tahun jualan tidak meningkat kualitas makanannya.
Mengapa mereka tidak mau riset mungkin dengan makan di penjual lain, mencari mana yang enak, lalu dengan kesungguhan berusaha membuat masakan mereka lebih enak?
Apa karena merasa sudah laku ya sudah, atau karena kurang ada kemauan belajar dan berkembang. Apa mereka merasa sudah bisa memasak ya sudah selanjutnya tidak usah belajar lagi, entahlah.
Bahkan penjual gorengan yang saya sebut pun saya tahu dagangannya kurang laku tapi tetap tidak ada perbaikan. Mungkin dia tidak sadar gorengannya susah dikunyah? Mungkin dia menyangka tidak laku bukan karena gorengannya kurang enak tapi pembeli terserap oleh kompetitor?
Tapi ada satu, seorang anak muda penjual nasi goreng keliling. Awal-awal membeli nasi gorengnya rasa dan teksturnya tidak enak. Tidak begitu lama kemudian saya beli lagi dan nasi gorengnya lebih enak. Saya kagum sama dia yang sepertinya bersemangat meningkatkan dagangannya dan mau belajar terus.
Film kuliner Tampopo mengajarkan saya bahwa dalam menekuni sesuatu jadilah yang terbaik. Kalau belum jadi yang terbaik belajar dan berlatihlah sampai jadi yang seterbaik mungkin.